Tafakur terhadap Gunung
Maka, mari kita membangun ‘gunung-gunung’ diri agar benar-benar
indah seperti saat dilihat dari kejauhan. Jangan membiarkan orang-orang yang selama
ini kagum, menjadi kecewa. Tentunya tak ingin banyak orang mengatakan tentang
kita, “Tak usah mendekati dia. Ia hanya indah jika dilihat dari kejauhanlah …”
Kalau kita tinggal atau pergi ke kota Semarang, tentu akan
tahu bagaimana kreativitas para perancang kota menata kawasan yang
berbukit-bukit, bergunung-gunung menjadi sebuah kota yang cukup ramai. Ini luar
biasa. Kalau kita berada di suatu kawasan di Semarang kemudian menengok ke
kanan, kiri pasti akan melihat perbukitan yang penuh berjejal dengan bangunan.
Suatu keindahan tersendiri. Mungkin juga akan didapati di kota-kota lainnya di
Indonesia atau di dunia. Mengenai hal itu, jadi teringat dengan sebuah
perenungan mengenai gunung.
Alkisah ada seorang anak yang menyampaikan rasa ingintahunya
kepada bapaknya. “Pak, seperti apa ya wujud asli gunung itu?” Sang bapak tidak
langsung memberi jawaban. Ia hanya berkata, “Okelah, mari kita berangkat ke
suatu tempat untuk melihat bagaimana wujud asli gunung itu. Nanti di sana akan
kamu lihat bagaimana wujud gunung itu.”
Kemudian akhirnya mereka berdua berangkat dengan mengendarai
sebuah mobil tua. Perjalanan yang mereka lakukan lumayan lama. Jarak antara rumah
yang mereka tinggali dengan gunung yang paling dekat saja bisa menempuh waktu selama
empat jam dengan mengendari mobil tua itu. Jarak itu terhitug relatif jauh. Atau
mungkin bisa dikatakan sangat jauh.
Ketika perjalanan yang mereka lakukan sudah menempuh hampir setengahnya,
anak itu mulai girang lalu berteriak, “Asyik, gunungnya sudah terlihat.” Dari dalam
mobil, sebuah gunung terlihat berwarna biru dengan begitu anggunnya. Puncaknya terlihat
menjulang ke langit dan seolah menembus gugusan awan putih. “Ahai, betapa indahnya
gunung itu,” kata sang anak. Ia begitu mengagumi keindahan pemandangan yang ia
lihat.
Sementara, mobil pun terus berjalan. Jalanan yang mereka
lalui tidak lagi datar dan lurus, namun mulai naik turun dan berkelok-kelok. Gunung
pun mulai terlihat berubah. Ia kelihatan hijau karena dedaunan. Anak itu berkata
lagi, “Oh, gunung itu berubah mejadi hijau. Ada pohon besar maupun kecil yang sangat
banyak.”
Sambil menikmati indahnya pemandangan di kanan kiri jalan
yang mereka lalui, anak itu teringat sebuah lantunan tembang: “Naik naik ke
puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Sampai akhirnya, mobil mereka hetikan pada
sebuah tempat datar yang sangat tinggi. Tidak terlalu luas memang, hanya cukup
untuk memarkir sebuah mobil. Dari tempat itulah mereka tidak hanya melihat wujud
asli sebuah gunung, akan tetapi juga bisa menyentuh dan menapakkan kaki di
sebuah gunung. Mereka kini sudah berada di puncak salah satu gunung yang
barangkali terlihat dari rumah mereka tetapi tak terlalu diperhatikan gunung
yang mana pasnya.
“Gunungnya mana, Pak?” anak itu bertanya keheranan kepada
bapaknya. “Inilah wujud gunung yang biasa kamu lihat itu, Nak. Tanah yang kita tapaki
ini lah gunuh itu,” jawab sang bapak sambil menjejak-jejakkan kakinya ke tanah.
Anak itu belum begitu mengerti. “Ini? Tanah seperti ini? Hanya tanah berkerikil
dan bebatuan serta rerimbunan pohon ini? Itu ada sungai kecil pun keruh?”
Sang bapak mengangguk meyakinkan. Ia melihat wajah kecewa
yang sangat mendalam pada diri anak kesayangannya. “Sayang, ayo kita pulang.
Mari kita nikmati saja gunung-gunung ini dari kejauhan, dari rumah kita. Barangkali,
dari sanalah justeru kamu akan menikmati bahwa gunung itu indah…”
***
Kawan, ketika di antara kita sudah menjadi seolah ‘gunung-gunung’
di suatu masyarakat, yang wajahnya selalu dilihat oleh orang, suaranya selalu didengar
orang, pasti akan muncul penasaran dari sekian banyak orang yang selalu melihat
kita dan selalu mendengar kita berbicara. Mereka juga seringkali ingin tahu,
seperti apakah wujud dan sosok kita dalam keseharian ketika dilihat dari dekat:
tutur katanya, kebiasaannya, perilakunya, kehidupannya, dan hal-hal yang lain.
Namun sayang, ‘gunung’ yang kelihatannya indah jika dilihat
dari kejauhan itu benar-benar memiliki keindahan yang hakiki. Seolah mereka
hanya memoles diri agar terlihat indah dari jauh tapi tidak membangun diri
dengan yang indah. Para pengagum yang ingin lebih mendekat kepada ‘gunung’ itu
pun akhirnya pasti akan menelan kekecewaan. Ternyata, ‘gunung’ yang selama ini
terlihat indah itu, menyimpan banyak cacat. Menyimpan banyak keburukan. Apa
yang selama ini terlihat sebagai suatu keindahan ternyata semu.
0 komentar:
Post a Comment